MURABAHAH,
MUDHARABAH, DAN SALAM
1.
Murabahah
Akar kata dari
murabahah adalah ‘ribh’ yang artinya profit atau laba. Transaksi
al-murabahah adalah transaksi jual beli dengan harta pokok yag ditambah dengan
keuntungan (laba) di mana harta pokok dan laba dari pihak penjual diketahui
oleh oihak pembelinya.
a. Praktik transaksi murabahah pada bank syariah.
Nasabah berjanji akan
membeli komoditi dari bank syariah dengan menggunakan akad wa’ad
(janji). Lalu bank mewakilkan pembelian komoditi tersebut kepada nasabah menggunakan
akad wakalah, dengan akad wakalah itu, nasabah pergi ke supplier/dealer/developer
untuk membeli komoditi atas nama bank. Setelah bank mendapatkan nasabah dengan
menggunakan akad murabahah.
b. Hal-hal yang dilarang dalam transaksi perbankan
syariah yang menggunakan akad al-murabahah.
1) Transaksi
bay al-murabahah hanya diperbolehkan untuk transaksi jual beli barang
atau komoditi tidak untuk penambahan modal atau digunakan untuk modal kerja. Untuk
modal kerja bisa menggunakan akad lain seperti mudharabah (bagi hasil) dan
musyarakah (kemitraan, bagi hasil, dan bagi rugi), bukan akad murabahah.
2) Nasabah
menggunakandana pinjaman dari pihak bank dengan akad murabahah untuk di gunakan
pada keperluannya yang lain, bukn untuk membeli komodati dari bank. Padahal jelas
sekali akad bay al-murabahah adalah akad jual beli dimana bank syariah
bertindak sebagai pihak penjual.
3) Bank
menjual komoditi kepada nasabah sebelum bank memiliki komoditi tersebut. Hal
ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah dimana bank sebagai pihak
penjual harus sudah memiliki barang yang hendak dijualnya kepada pihak pembeli.
4) Bank
dan nasabah melakukan perjanjian akad murabahah pada saat nasabah sudah membeli
komoditi dari pihak lain. Seharusnya nasabah membeli komoditi dari bank pada
saat akad berlangsung. Bukannya membeli barang pada pihak lain dan mendapatkan
pinjaman pembayarannya dari pihak bank. Dalam hal ini transaksinya sama dengan
memberi pinjaman denagn imbalan bunga (riba) pada Bank Konvensional.
5) Murabahah
tidak boleh di roll-over, karena prinsip murabahah adalah jual beli,
bukan pinjaman berbasis bunga.
6) Nasabah
tidak boleh dikenakan sangsi untuk late or default payment, karena
sekali lagi transaksi murabahah adalah prinsip syariah berdasarkan jual beli,
bukan pinjaman dengan imbalan bunga. Kalau memang nasabahnya dengan sengaja
memanfaatkan kondisi seperti ini, maka bank syariah dapat mengenakan sanksi
berupa denda atas keterlambatan pembayaran kepada nasabah, dan ahrus
menyalurkan pendapatnya dari pembayaran denda tersebut kepada Badan Zakat.
7) Pemberlakuan
praktik da wa ta’ajjal (ضع و تعجل) atau pemberian diskon pada nasabah yang
rajin membayar cicilannya sebelum jatuh tempo. Sebagian besar ulama melarang
praktik ini kalau diskon tersebut di kaitkan dengan waktu pembayaran yang
dipercepat, dengan alasan ada indikasi riba, dimana riba terjadi ketika satu
pihak diuntungkan dan pihak yang lain dirugikan.
Namun, sebagian dari
pada ulama klasik mengizinkan praktik ini, tetapi kebanyakan dari para ulama
juga menolak da wa ta’ajjal ini diterapkan termasuk para ulama-ulama
dari pengikut golongan 4 mazhab, yaitu: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Kesimpulan
Pada
dasarnya transaksi al-murabahah adalah transaksi jual beli yang sederhana, bukannya
suatu skema pembiayaan, namun dengan diizinkannya pembayaran transaksi
murabahah dengan cara dicicil, maka bank syariah boleh melakukan pembayaran
dengan akad murabahah, hanya apabila nasabahnya membutuhkan untuk membeli suatu
barang/komoditi seperti rumah, kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat,
dan baramg elektronik, bukan untuk modal kerja atau work-ing capital.
Kalau ada bank syariah yang memberi pembiayaan murabahah untuk keperluan modal
kerja, dapat kita katakan disini bahwa bank syariah tersebut sudah melanggar
syarat dan ketentuan daripada prinsip ekonomi syariah.
2.
Mudharabah
Murabahah adalah bentuk
kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100%
modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini
tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek.
Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan
penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan
untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
a. Tipe mudharabah
1) Mudharabah mutlaqah,
dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib)
untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan
menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan
pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
2) Mudharabah muqayyadah,
dimana praktik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam
penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha, dan
sebagainya.
b. Keistimewaan mudharabah
1)
Berdasarkan
prinsip berbagi hasil dan berbagi resiko.
·
Keuntungan
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
·
Kerugian
finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh
imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
2)
Pemilik dana
tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.
3.
Salam
a. Pengertian Salam
As-Salam
dinamai juga As-salaf ialah suatu akad jual beli antara dua orang atau
lebih dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau
kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya,
dan lain sebagainya telah disepakati. Sedang pembayarannya dilakukan pada saat
terjadi transaksi. Misalny: seperti si A memesan sebuah almari pakaian kepada
si B, dengan ukuran, kualitas kayu, warna cat, telah ditentukan. Si B menerima
pesanan si A dengan harga tertentu dan pembayarannya dilakukan oleh si A secara
kontan pada saat terjadinya transaksi.
Dengan demikian, salam
merupakan jual beli pesanan dari calon pembeli dengan pembayaran kontan dan
hutang bagi calon penjual, karena barangnya baru berupa pesanan dan akan
diserahkan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw.,
bersabda:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُّ . ص . م . اَلْمَدِيْنَةَ وَهُمْ
يُسْلِفُوْنَ نَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ
اَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ
اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Dari
Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah dan orang-orang (Madinah)
meminjamkan buah-buahan satu tahun dan dua tahun, maka beliau bersabda: “Bagi
siapa yang meminjamkan (mengutangkan) buah-buahan, maka hendaklah ia
mengutangkan dengan takaran dan timbangan yang jelas dan sampai batas waktu
yang jelas”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits
di atas oleh para ulama dijadikan dasar kebolehan jual beli salam.
b. Rukun dan syarat Salam
1)
Rukun Salam
a) Penjual
(muslam ‘alaih)
b) Pembeli
(muslam atau rabbus salam)
c) Barang
(muslam fih) dan harga atau modal (ra’sul mal)
d) Sigat
(akad)
2) Syarat-syarat
Salam
a) Uang
hendaknya dibayar pada saat terjadi transaksi atau di majlis akad, berarti
pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
b) Barang
menjadi utang atau tanggungan penjual dan diberikan kepada pembeli sesuai
dengan kesepakatan, baik mengenai waktunya maupun tempatnya.
c) Barang
itu hendaknya jelas kriterianya, baik ukuran, kualitas, jenis, timbangan dan
lain sebagainya sesuai dengan jenis barang yang dijual. Dengan kriteria
tersebut dapat dibedakan antara satu barang dengan barang lain, sehingga tidak
terdapat keraguan yang dapat menyebabkan perselisihan antara keduanya (penjual
dan pembeli).
c. Hukum Jual Beli Salam
Para ulama sepakat
bahwa jual beli salam hukumnya boleh selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan
tidak terjadi garar (penipuan). Dasar hukum yang dijadikan pegangan selain nas
seperti telah disebutkan di atas adalah bahwa jual beli salam mengandung
unsur-unsur kemaslahatan dan hikmah yang dibutuhkan oleh manusia.
d. Hikmah Salam
Diantara hikmah jual beli salam adalah:
1)
Terpenuhinya
kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dengan
orang lain. Ada di antara mereka, misalnya si A mempunyai cukup uang tetapi
tidak memiliki barang yang dia perlukan. Sementara ada orang lain, misalnya si
B memiliki kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan si A namun tidak mempunyai
modal untuk mewujudkannya. Dalam keadaan seperti ini, si A memesan barang yang
ia perlukan, dan si B, dengan modal yang ia terima bekerja untuk memenuhi
permintaan si A. Dengan demikian, kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.
2)
Adanya asas
tolong-menolong. Dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing seperti
digambarkan di atas, berarti si A telah menolong si B sehingga dia bekerja dan
memanfaatkan keahliannya, si B menolong si A karena dia telah memenuhi
kebutuhan si A. Asas tolong-menolong ini merupakan cari manusia sebagai
makhaluk sosial dan sangat dianjurkan oleh agama.
TERIMA KASIHMBAK.
BalasHapuspenjelasan salam di atas bukannya lebih ke penjelasan istisna
BalasHapus