Selasa, 05 Juni 2012

KEPEMILIKAN


KEPEMILIKAN

Secara bahasa, kata kepemilikan bararti memiliki sesuatu dan sanggup bertindak sekehendaknya hati terhadapnya. Secara istilah, kepemilikan adalah suatu ikhtisas yang menghalangi orang lain bertindak terhadap benda miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang.
Menurut jumhur ulama, kepemilikan merupakan hak khusus seseorang terhadap suatu benda dan tercegahnya pihak lain untuk ikut memanfaatkannya. Pemilik disahkan menggunakan hak miliknya sejauh tidak melanggar ketentuan syariat.
1.        Ketentuan Syariat Mengenai Hak Milik
Ketentuan mengenai hak-hak manusia untuk memiliki seisi alam ini harus berlandaskan pada ketentuan yang dibuat Allah swt. Syariat Islam mempunyai aturan tertentu mengenai keinginan seseorang untuk memiliki kekayaan alam ini menjadi milik pribadinya.
Ketentuan Islam mengenai kekayaan pribadi itu meliputi delapan pokok:
a.    Pemanfaatan Kekayaan
Semua kekayaan harus memiliki manfaat dan dapat digunakan manfaatnya untuk orang banyak. Nabi saw. bersabda yang artinya, “Orang yang menguasai tanah yang tidak bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya, ia tidak menggarapnya dengan baik.”
Pemerintah Islam berhak mengatur dan mencabut izin hak kepemilikan tanah seseorang apabila pemilik berlaku tidak sesuai dengan ajaran Islam, yakni hanya mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan hak masyarakat secara luas.
b.    Membayar Zakat
Semua kekayaan, emas, perak, uang, hasil pertanian, usaha perdagangan, dan apa saja yang dimiliki oleh seseorang selama hidupnya merupakan harta benda yang wajib dizakati.
Syariat zakat bertujuan untuk kemaslahatan umum, kaum Muslimin secara keseluruhan, dan tidak untuk menumpuk kekayaan pribadi, melainkan untuk berbakti kepada Allah swt..
c.    Penggunaan yang Berfaedah
Penggunaan harta benda harus dapat memberi manfaat dan faedah bagi kepentingan umum, dapat menyejahterakan, menguntungkan, dan memakmurkan. Allah swt. berfirman:
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِى يَشَآءُ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلاَّابْتِغَآءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلّيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ {272}
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-Baqarah: 272)
d.    Penggunaan yang Tidak Merugikan
Apabila Islam memberi tekanan pada pemakaian yang berfaedah, berarti membebankan kewajiban kepada pemilik harta benda untuk menggunakannya sedemikian rupa sehingga tidak merugikan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu, jika seandainya kerugian ditimpakan kepada orang lain, hal itu merupakan pelanggaran. Allah swt. berfirman:
وَقَتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللَّهِ الَّذِيْنَ يُقَتِلُو نَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ {190}
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah: 190)
e.    Kepemilikan yang Sah
Tindakan untuk memperoleh harta benda dengan cara yang tidak sah dilarang dalam Islam. Demikian pula kepemilikan yang diperoleh dari penyuapan, sumpah palsu, atau sumpah palsu adalah perbuatan yang melanggar hukum.
f.     Penggunaan Berimbang
Disamping syarat kepemilikan harus dilakukan dengan cara yang sah,asas keseimbangan dalam menggunakan hak milik seseorang pun diatur dengan jelas dalam islam. Maksud keseimbangan disini adalah tidak berlaku kikir dan boros. Alla swt.sangan tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sifat kikir dan sombong, sebagaimana dijelaskan dalam firmannya berikut ini:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا {36} الَّذِيْنَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِلْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَآءَاتَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنَا {37}
“... Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong, dan membanggakan diri, (yaitu) orang yang kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’: 36-37)
g.    Pemanfaatan Sesuai Hak
Ketentuan etika bisnis Islam menekankan penggunaan harta dengan menjamin manfaatnya bagi si pemilik. Harus diakuai sangat banyak orang memanfaatkan harta bendanya untuk kepentingan diri sendiri, baik dibidang politik maupun dibidang ekonomi, dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan yang luas bagi masyarakat. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam.
h.    Kepentingan Kehidupan
Persoalan pengawasan dan pembagian harta tidak timbul sebelum kematian pemiliknya. Kepentingan bagi mereka yang masih hidup dengan mempraktikkan hukum waris.
2.        Sebab Kepemilikan
Sebab-sebab memiliki (tamalluk) yang ditetapkan syarak, sebagaimana disebutkan dalam buku Pengantar Fiqih Mu’amalat hanya terdiri atas empat sebab:
a.    Ihrazul Mubahat
     Ihrazul Mubahat adalah sebab timbul atau sifat memiliki atas benda oleh seseorang. Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah harta yang tidak masuk ke dalam milik yang dihormati (milik orang yang sah) dan tidak ada pula suatu penghalang yang dibenarkan syarak dari memilikinya. Contoh barang-barang mudah dan dapat dimiliki, seperti air yang tidak dimiliki seseorang, rumput dan pepohonan di hutan belantara yang tidak dimiliki oleh orang, binatang buruan, ikan-ikan di laut. Dalam ketentuan milkiyah, semua jenis tersebut di atas adalah barang mubah.
     Siapa pun berhak memiliki semua jenis barang tersebut. Apabila dia telah menguasai dengan maksud memiliki, menjadilah miliknya. Tidak seorang pun yang dapat menghalangi karena barang yang dimaksud adalah barang mati tak bertuan, melainkan milik Allah swt.. Untuk memiliki benda-benda mubah dengan jalan ihrazul memerlukan dua syarat, yaitu:
1)   Benda tersebut tidak diihrazkan orang lain terlebiha dahulu. Misalnya, seseorang telah mengumpulkan rumput dalam sebuah keranjang dan dibiarkan tidak diambil maka orang lain tidak berhak mengambil rumput tersebut karena telah diihrazkan (dijaga) oleh seseorang. Oleh karena itu, ada kaidah yang mengatakan bahwa barang siapa mendahului orang lain pada sesuatu yang mubah bagi semua orang maka sesungguhnya ia telah memilikinya.
2)   Ada maksud tamalluk, yakni jika seseorang memperoleh sesuatu benda mubah dengan tidak maksud memilikinya, tidaklah benda itu menjadi miliknya. Misalnya, seseorang memasang jaring penangkap, lalu terjeratlah seekor binatang buruan. Jika ia meletakkan jaring penangkap tadi sekedar mengeringkan jaring, tidaklah dia berhak memiliki binatang terjerat itu. Orang yang mengambil itulah dipandang muhriz, bukan pemilik jaring.
b.    Al ’Uhud
     Al ‘Uhud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan, seperti akad jual beli sepeda. Sepeda yang dibeli menjadi milik pembeli secara sah karena telah terjadi akad jual beli sepeda. Artinya, penjual telah memindahtangankan hak kepemilikan sepeda darinya (penjual) ke pihak kedua (pembeli). Akad ini lazim disebut dengan transaksi pemindahan hak. Asud akad dalam sistem kepemilikan mengandung dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
1)   ‘Uhud Jabariyah, yaitu akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada keputusan hakim, seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa. Penjualan tersebut salah, walaupun dia menjual karena dipaksa oleh hakim, dan hakim memaksa menjual brang itu untuk membayar utang orang lain.
2)   Istimlak untuk maslahat umum
Untuk memahami dengan mudah akad ini, perhatikan contoh, misalnya tanah-tanah disamping masjid apabila diperlukan untuk masjid harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.
Kedua kategori di atas, baik ‘uhud jabari maupun istimlak masuk dalam bidang akad. Akad tersebut lazim disebut dengan transaksi pemindahan hak dalam sistem ekonomi Islam.
c.    Khalafiyah
     Istilah Khalafiyah dikenal dengan sistem ekonomi kontemporer dengan istilah penggantian. Maksud khalafiyah (penggantian) adalah penggantian posisi dari satu pihak kepihak lain, yang dalam prosesnya tanpa ada persetujuan, baik dari pihak pertama maupun pihak kedua. Misalnya, harta warisan. Warisan berpindah ke ahli waris tanpa terlebih dahulu bersyarat persetujuan karena ketentuan itu merupakan ketentuan syariat Islam.
d.    Attawallud min Mamluk
     Attamallud mim Mamluk adalah sebuah kepemilikan yang diperolah dengan jalan anak pihak, seperti pohon menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi miliknya karena dia yang memiliki pohon. Seseorang memiliki ternak kambing lalu diambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi miliknya.
3.        Menghidupkan Tanah Mati/Lahan Tidur
Ihya mawat al-ard adalah menghidupkan tanah mati. Maksud tanah mati adalah tanah tak bertuan yaitu tidak dimiliki seseorang. Islam membolehkan umatnya menghidupkan tanah mati, sekaligus menjadi milik dari yang menghidupkannya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ اَحْيَااَرْضَا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka ia menjadi pemiliknya, tidak ada bagi orang yang aniaya hak atas sesuatu.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)
مَنْ اَحْيَا اَرْضَا مَيْتَةً مِنْهَا يَعْنِى أَجْرً وَمَا اَكَلَهُ الْعَوَافِى فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh pahala, dan apa-apa yang dimakan binatang, maka menjadi sedekah baginya.” (H.R. Ahmad)
Menghidupkan tanah mati yang diperoleh menurut syarak adalah mempersiapkan tanah itu untuk keperluan yang diinginkan. Dalam penggunaannya, dianjurkan untuk memberi tanda batas dengan tembok atau parit yang menunjukkan pembatas atas tanah yang dihidupkan. Pembatasan itu diperlukan agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.

1 komentar: