Selasa, 29 Mei 2012

KHIAR


KHIAR

1.        Pengertian dan Dasar Khiar
Dalam jual beli, khiar adalah hak memilih salah satu di antara dua hal, yaitu meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali jual beli). Khiar bertujuan agar kedua orang yang berjual beli dapat emikirkan kemaslahatan masing-masing tentang jual belinya, sehingga tidak terjadi penyesalan dikemudian hari, lantaran merasa tertipu. Khiar hukumnya mubah dan disyariatkan dalam agama Islam. Rasulullah saw. membenarkan praktik khiar melalui haditsnya yang berbunyi:
قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَكُمُ الخِيَارُ فِى البُيُوْعِ مُنْذّ ثَلاَثَةِ اَيَّامَ (رواه البيهقى)
“Bahwa Rasulullah saw. bersabda,’Engkau berhak umtuk khiar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga hari’.” (H.R. Al-Baihaqi)
Dari hadits tersebut berarti batas khiar hanya boleh selama tiga hari, lebih dari itu tidak diperbolehkan. Hal ini tampak pada hadits berikut ini:
أَنَّ رَجُلاَ إِشْتَرَى مِنْ رَجُلِ بَعِيْرً وَأَشْتَرَ عَلَيْهِ الخِيَارَ اَرْبَعَةَ اَيَّامٍ . فَاَبْطَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْعَ . وَقَالَ الخِيَارُ ثَلاَثَةُ اَيَّامٍ (رواه عبدالرزاق)
“Seorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya dan ia mensyaratkan khiar selam empat hari, Rasulullah saw. membatalkan jual beli tersebut dan bersabda,’khiar adalah tiga hari’.” (H.R. Abdul Razzaq)

2.        Macam-macam Khiar
a.    Khiar Majlis
Khiar majlis adalah hak khiar ketika si penjual dan pembeli boleh memilih antara dua perkara, yakni meneruskan/melangsungkan jual beli atau membatalkannya selam keduanya masih berada di tempat berlangsungnya akad jual beli. Khiar majlis diperbolehkan dalam segala macam jual beli. Khiar majlis biasanya terjadi pada akad yang bersifat pertukaran seperti jual beli dan upah-mengupah.
Dasar untuk melakukan khiar majlis adalah hadits Nabi erikut ini:
اَلْبَيِّعَا نِ بِالّخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا (رواه البخا رى و المسلم)
“Ada dua orang berjual beli, boleh mamilih (akan meneruskan jual beli atau tidak) selama keduanya belum terpisah dari tempat akad.”(H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Khiar majilis dapat gugur dan tidak berlaku jika:
1)   Penjual dan pembeli telah memutuskan untuk memilih meneruskan jual beli atau membatalkannya.
2)   Penjual dan pembeli sudah berpisah menurut adat kebiasaan.
3)   Salah satu atau keduanya meninggal dunia.
b.   Khiar Syarat
Khiar syarat adalah khiar yang disyaratkan oleh salah satu pihak penjual atau pembeli sewaktu berlangsungnya akad jual beli. Misalnya, kata penjual,”Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiar tiga hari atau kurang dari tiga hari.” Khiar syarat dapat dilakukan dalam segala jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di rempat jual beli, seperti barang-barang riba. Maka khiar syarat paling lama hanya tiga hari. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. berkut ini:
اَنْتَ فِيْ كُلِّ سِلْعَةٍ إِبْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ (رواه ابن ماجه)
“Engkau boleh berkhiar pada semua barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (H.R. Ibnu Majah)
Khiar syarat disyariatkan untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang melakukan jual beli.
c.    Khiar ‘Aibi (Cacat)
Khiar ‘aibi adalah hak pembeli untuk memilih meneruskan jual beli tau membtalkannya. Ketika diketahui barang yang dibelinya ternyata ccat dan cacat tersebut tidak tampak pada saat berkangsungnya akad.
Menjual barang yang cacat tanpa menjelaskan kepada pembeli tentang cacat tersebut, hukumnya haram. Oleh karena itu, jika disaat akad tidak diketahui ada cacat pada barang yang dibeli, kemudian setelah akad diketahui bahwa barang tersebut cacat, pembeli boleh menolak barang tersebut dan membatalkan jual beli. Hal tersebut telah menjadi milik ijmak ulama. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاً اِبْتَاعَ غُلاَمًا فَاَقَامَ عِنْدَهُ مَاشَاءَللَّهُ أَنْ يُقِيْمَ ثُمَّ وَجَدَبِهِ عَيْبًا فَخَا صَمَهَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ (رواه ابو داود)
“Dari Aisyah r.a. berkata bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, terus dia angkat perkara itu dihadapan Rasulullah Saw. Putusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada si penjual.” (H.R. Abu Dawud)

3.        Praktik Khiar
Ahmad membeli sebuah TV berwarna. Sesudah terjadi akad, ditemukan cacat, seperti lecet-lecet dan speaker tidak berbunyi. Saat barang belum dibawa pulang maka cacat tersebut masih dalam tanggungan penjual. Artinya, penjual harus menggantinya dengan barang yang tidak cacat sedikitpun.
Jika kedua belah pihak telah terjadi akad dan pembeli mengetahui cacat setelah dibawa pulang, si pembeli dapat mengembalikan pada penjual dengan meminta kembali uangnya. Jika pembeli tidak segera mengembalikan barang yang cacat kepada pemilik toko, berarti ia telah ridaatas cacat barang tersebut. Barang tersebut kemudian dijual kepada pihak kedua. Jika pihak kedua mengetahui ada cacat pada barang tersebut, ia berhak meminta ganti rugi, namun tidak berhak mengembalikan barangnya dengan meminta ganti rugi barang yang baru.

4.        Hikmah Khiar
Hikmah dari adanya khiar adalah manusia dididik untuk jujur dan sabar. Seandainya saja ada kecacatan dalam membeli barang, hendaknya langsung dikembaliakan, tidak perlu marah, memfitnah, atau mencaci maki atas kesalahan pihak penjual. Bisa jadi si penjual tidak tahu atau tidak sengaja bahwa barang yang dijualnya cacat. Di sini kita dididik untuk salaing menghargai antara satu dengan yang lain karena pada hakikatnya kedua pihak akan memperoleh keuntungan dari akad yang dilakukan.

5.        Khiar yang Benar
Setiap orang Islam dalam bermuamalah tidak boleh melakukan kecurangan, dan harus selalu memikirkan kemaslahatan dalam melaksanakan khiar dan jual beli. Dengan berbuat curang hanya akan menjatuhkan martabat diri, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah swt..
Setiap pembeli hendaknya waspada terhadap barang yang dibeli. Jangan segan untuk menanyakan tentang baik buruk barang yang akan dibali sehingga tidak ada keraguan dalam memutuskan membeli atau tidak, melainkan akan degan mantap dalam mengambil keputusan dan rida.

JUAL BELI


JUAL BELI

1.        Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli artinya pertukaran barang dengan barang atau barang dengan uang. Beberapa ahli mendefinisikan jual beli sebagai berikut, diantaranya adalah Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’, mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. Dan Ibnu Qudamah dalam kitapnya Al-Mughni, mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling memiliki. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu. Dasar hukum jual beli adalah sebagai berikut:
a.    Firman Allah swt.:
. . . وَاَحَلُّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا . . . (البقرة : 275)
“... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. Al Baqarah: 275)
b.   Sunah Nabi Muhammad saw.
Pada suatu hari, saat Nabi saw. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, “Seorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.”
Maksud mabrur dalam hadits itu adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c.    Ijmak para Sahabat
Para ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan denganalasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Akan tetapi, bantuan barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lain yang sesuai. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum jual beli adalah boleh atau mubah.

2.        Rukun Jual Beli
Para ulama sepakat bahwa ada empat rukun jual beli, yaitu:
a.    Bai’ (penjual), yaitu pihak yang dikenai tuntutan untuk menjual.
b.    Musytari (pembeli), yaitu pihak yang menghendaki memiliki sesuatu denagn pembelinya.
c.    Sigat (ijab dan kabul), yaitu transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
d.   Ma’qud ‘alaih (benda atau barang), yaitu sesuatu yang menjadi objek transaksi.
Adapun syarat agar jual beli sah, penjual dan pembeli harus memenuhi syarat berikut ini:
a.    Berakal, supaya seseorang tidak terkecoh.
b.    Dilakukan atas kehendak sendiri, bukan dipaksa atau keterpaksaan.
c.    Tidak mubazir (boros) sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
d.   Balig (berumur 15 tahun ke atas), bagi anak-anak yang sudah mengerti boleh melakukan jual beli yang kecil-kecil.

3.        Syarat Jual Beli
Secara umum, disyaratkannya jual beli adalah untuk menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang berakad, dan menghindari jual beli garar (penipuan).
Syarat jual beli meliputi empat hal, yaitu:
a.    Syarat terjadinya akad
Jual beli batal apabila syarat terjadinya akad tidak terpenuhi. Hal ini menurut ulama Hanabilah.
b.   Syarat sahnya akad
Syarat terbagi menjadi dua, yaitu:
1)   Syarat umum
Yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan oleh syarak dan terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan waktu dengan waktu, penipuan, kemudaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.
2)   Syarat khusus adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu, seperti:
a)    Barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang.
b)   Harga awal harus diketahui.
c)    Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pada jual beli yamg ada di tempat.
d)   Terpenuhi syarat penerimaan.
e)    Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu pada jual beli yang memakai ukuran atau timbangan.
f)    Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya. Oleh karena itu,tidak boleh menjual  barang yang masih berada di tangan penjual.
c.    Syarat terlaksananya akad
Syarat terlaksananya akad adalah sebagai berikut:
1)   Benda dimiliki oleh aqid (berkuasa untuk akad).
2)   Pada benda tidak terdapat milik orang lain. Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang sewaan dan barang gadai karena barang tersebut bukan miliknya sendiri, kecuali diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang ditangguhkan.
Berdasarkan syarat terlaksananya akad dan wakaf 9penangguhan), maka jual beli terbagi dua, yaitu;
1)   Jual beli nafaz
Adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli tersebut dikategorikan sah.
2)   Jual beli mauquf
Adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi nafaz, yakni bukan milik dan tidak kuasa melakukan akad, seperti jual beli fudul (jual beli milik orang lain, tanpa ada izin). Jika pemiliknya mengizinkan, maka jual beli fudul dipandang sah. Sebaliknya, jika pemilik tidak mengizinkan, dipandang batal. Para ulama berbeda pendapat dalam jual beli fudul ini.
d.   Syarat kepastian
Syarat kepastian hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang akad dan menyebabkan batalnya akad.

4.        Jual Beli yang Dilarang
Yang dilarang di dalam Islam tentang jual beli sangatlah banyak. Diterangkan oleh Wahbah Al-Zuhaili sebab-sebab terlarangnya jual beli, yaitu:
a.    Terlarang sebab ahliah
Orang yang dilarang melakukan transaksi jual beli karena sebab ahliah adalah:
1)   Orang gila
2)   Anak kecil
3)   Orang buta
4)   Fudul (jual beli milik orang lain tanpa izin)
5)   Orang yang terhalang (misal karena kebodohan, bangkrut atau sakit)
6)   Majla’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zina.
b.   Terlarang sebab sigat
Ulama fiqih telah sepakat bahwa jual beli yang didasarkan pada keridaan antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian antara ijab dan kabul, berada disatu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah adalah sah.
Sebaliknya, jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah atau masih diperselisihkan para ulama, seperti macam-macam jual beli berikut:
1)   Jual beli mu’ah adalah jual beli yang sudah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang dan harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.
2)   Jual beli melalui utusan dan surat. Jual beli semacam ini adalah sah selam utusan dan surat itu sampai pada tujuan. Jual beli tidak sah bila yang terjadi adalah sebaliknya.
3)   Jual beli dengan syarat atau lisan selama bisa dibaca dan dimengerti. Juka terjadi sebaliknya, maka jual beli menjadi tidak sah, misal tulisannya kaburdan isyaratnya tidak dapat dipahami.
4)   Jual beli barang yang tidak ada ditempat.
5)   Jual beli tidak berkesesuaian dengan ijab kabul.
6)   Jual beli munjiz (jual beli yang ditangguhkan).
c.    Terlarang sebab ma’qud ‘alaih (objek akad)
Ma’qud ‘alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang berakad, biasa disebut dengan istilah mabi’ (barang jualan), seperti:
1)   Jual beli benda yang dikhawtirkan tidak ada barangnya.
2)   Jual beli yang tidak dapat diserahkan barangnya.
3)   Jual beli garar (tipuan) adalah jual beli yang mengandung kesmaran.
Contoh jual beli garar adalah:
a)    Jual beli al-hashah, yaitu jual beli yang menggunakan batu kerikil atau sejenisnya.
b)   Dharbah al-ghawas, yaitu jual beli dari menyelam, barang yang diperjualbelikan tidak jelas, apa yang didapatkan dari laut ketika menyelam itulah yang dibayar.
c)    Jual beli al-nitaaj, yaitu perjanjian jual beli pada hasil ternak sebelum dihasilkan, misalnya susu srbelum diperah.
d)   Jual beli mulamasah, yaitu jual beli dengan meraba. Contoh:eharusan membeli pada kain yang diraba tanpa mengetahui keadaan barangnya.
e)    Jual beli mukhadharah, yaitu jual beli benda yang masih hijau, buah atau biji-bijian yang belum masak. Contoh: kurma yang masih hijau yang belum ada tanda-tanda masak.
f)    Jual beli bulu binatang yang masih di badan.
g)   Jual beli munaabadah, yaitu jual beli dengan cara berebutan. Contoh: dua orang calon pembeli melakukan transaksi dengan cara berebut, barang wajib dibeli walaupun tidak rida.
h)   Jual beli muhaaqalah, yaitu membeli buah di kebun dengan sesuatu yang tertentu. Contoh: jeruk ditukar dengan gandum.
i)     Jual beli muzaabanah, contoh: jurma basah ditukar dengan kurma kering dengan ukuran yang tidak jelas.
j)     Jual beli habalu al-habalah, yaitu jual beli binatang yang masih di perut (yang belum dilahirkan).
4)   Jual beli barang najis dan yang terkena najis.
5)   Jual beli barang yang tidak jelas (majhul).
6)   Jual beli air (Mazhab Zihiriah dan yang lain tidak mengharamkannya).
7)   Jual beli barang yang tidak ada ditempat.
8)   Jual beli sesuatu yang belum dipegang.
9)   Jual beli buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan yang belum jelas buahnya.
d.   Terlarang sebab syarak
1)   Jual beli riba.
2)   Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan.
3)   Jual beli barang dari rampasan atau malak di jalan.
4)   Jual beli sperma hewan jatang dengan cara mencampurkan hewan tersebut dengan hewan betina.
5)   Jual beli anggur untuk dijadikan khamar.
6)   Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain.
7)   Jual beli bersyarat.

5.        Hikmah Jual Beli
a.    Membangkitkan semangat kerja
Jual beli mendidik manusia untuk bekerja keras, tidak menjadi pengemis serta mengharap pemberian orang lain. Sebab sikap meminta-minta akan menjatuhkan martabat baik dihadapan manusia maupun di hadapan Allah swt..
b.   Menjadikan manusia ingat kepada Allah swt.
Allah swt. adalah Zat yang Mahakaya dan kepada-Nya lah tempat seluruh umat manusia memohon rizeki. Dalam berniaga sering orang menggunakan cara-cara yang curang untuk meraup untung besar. Cara yang curang hanya akan memperoleh rizeki yang tidak berkah. Sebaliknya, jika dalam berniaga sesuai dengan syariat-Nya serta profesionak, jujur, sabar, tidak mampu, ulet dan tidak lupa berdo’a maka akan memperoleh rizeki yang berkah.

6.        Jual Beli yang Benar
Pada dasarnya jual beli adalah proses untuk memiliki harta atau barang dengan sah secara hukum. Jual beli yang benar adalah jual beli yang sesuai dengan kehendak syarak yaitu memenuhi persyaratan, rukun jual beli, dan hal-hak lain yang ada kaitannya dengan jual beli.
Maka perlu diperhatikan, agar terjadi jual beli yang benar adalah barang yang dijual harus terjamindari kesucian, jangan menjual barang yang najis, bukan barang yang rusak, barang harus jelas dan tampak.

Sabtu, 26 Mei 2012

HARTA DALAM ISLAM


HARTA DALAM ISLAM

A.       Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang berasal dari kata مَالَ - يَمِيْلُ - مَ يْلاَ yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Harta menurut ulama: sesuatu yang berwujud dan dapat dipegang dalam penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan.
Dengan demikian pengertian harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.

B.       Unsur-unsur Harta
Menurut para fuqaha harta bersendi pada dua unsur, yaitu:
1.    Unsur ‘aniyah ialah harta itu ada wujudnya dalam kenyataan seperti manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.
2.    Unsur ‘urf  ialah segala sesuatunya dipandang harta oleh manusia atau sebagian manusia memelihara kecuali menginginkan manfaatnya barang.

C.       Kedudukan dan Fungsi Harta
Harta mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Harta (uang) lah yang dapat menunjang segala kegiatan manusia termasuk untuk memenuhi kebutuhan produksi manusia (papan, sandang, dan pangan).
Kriteria kedudukan harta:
·      Harta merupakan perhiasan hidup,
·      Harta sebagai amanah selain sebagai perhiasan,
·      Selain sebagai amanah harta juga berkedudukan sebagai musuh.
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut. Fungsi harta sangat banyak, baik berguna dalam hal yang baik, maupun kegunaan dalam hal yang jelek.
Diantara sekian banyak fungsi harta, antara lain sebagai berikut:
a.    Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas.
b.     Untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
c.    Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode lainnya.
d.    Untuk menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat.
e.    Untuk mengmbangkan dan menegakkan ilmu-ilmu.
f.      Untuk menumbuhkan silahturrahmi, karena danya perbedaan dan keperluan.

D.      Pembagian Harta
Ulama fiqih membagi harta menjadi beberapa macam, yaitu:
1.    Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta terdiri atas:
a.    Halal untuk dimanfaatkan
b.    Tidak halal untuk dimafaatkan
2.    Dilihat dari segi jenisnya, terdiri dari:
a.    Harta yang tidak bergerak, seperti tanah dan rumah.
b.    Harta yang bergerak, seperti dagangan.
3.    Dilihat dari pemanfaatannya,terdiri dari:
a.    Harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut dan tetap utuh, seperti rumah dan lahan pertanian.
b.    Harta yang pemafaatannya menghabiskan benda tersebut, seperti pakaian, makanan, minuman, dan sabun.
4.    Dilihat dari segi ada atau tidak ada benda dipasaran yaitu:
a.    Benda yang ada jenisnya dipasaran, seperti benda yang ditimbang atau ditakar seperti beras, gula, kentang.
b.    Harta yang tidak ada jenisnya yang sama dalam satuannya dipasaran, seperti bermacam pepohonan, logam mulia, dan alat-alat rumah tangga.
5.    Dilihat dari status (kedudukan) harta, dapat dibagi menjadi:
a.    Harta yang telah dimiliki, baik milik pribadi, maupun milik badan hukum (negara, organisasi kemasyarakatan).
b.    Harta yang dimiliki seseorang, seperti smber mata air,hewan buruan, kayu dihutanbelantara yang belum dijama’ dan dimiliki orang, atau ikan dilautan lepas
c.    Harta yang dilaran oleh syara’ memilikinya, seperti harta waqaf, atau diperuntukkan untuk kepentingan umum.
6.    Dilihat dari segi bisa dibagi, atau tidak harta tersebut.
Berkenaan dengan masalah ini ulama fiqih mengatakan bahwa:
a.    Ada harta yang bisa dibagi, msudnya apabila harta dibagi maka harta itu tidak menjadi rusak dan anfaatnya tidak hilang.
b.    Harta yang tidak bisa dibagi adalah apabila harta itu dibagi maka rusaklah manfaatnya. Umpamanya apabila rumah atau tokoh itu dibagi, maka rumah atau tokoh itu tidak dapat dimanfaatkan.
7.    Dilihat dari segi berkembang atau tidaknya harta itu. Herta itu berkembang atau tidak sangat bergantung kepada upaya manusia atau dengan sendirinya berdasarkan ciptaan Allah SWT.

E.       Pendangan Islam Memandang Harta
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
1)   Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7).
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan”.
2)   Status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut:
a.    Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
b.    Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
c.    Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28).
d.    Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
3)   Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) ataua mata pencaharian (Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267).
“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah”. (HR Ahmad).
4)   Dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).
5)   Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).

F.        Kepemilikan Harta
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Qur’an menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.